Dalam kebudayaan populer, Yeti berbentuk manusia kera berbulu dan berukuran besar, dengan kaki yang sama besarnya dan gigi setajam pedang. Bulunya berwarna abu-abu atau putih. Yeti seringkali digambarkan menjelajah pegunungan salju sendirian.
Apakah ada sesuatu di balik tokoh dongeng ini, lebih dari mitos dan imajinasi?
Dalam beberapa tahun terakhir genetika modern digunakan dalam meneliti Yeti Himalaya. Sebagai hasilnya, sekarang kemungkinan kita dapat memecahkan misterinya.
Seperti yang dikutip dari nationalgeographic.co.id, Yeti adalah salah satu “manusia-kera”. Di tempat lain di dunia, orang membicarakan dongeng Bigfoot atau Sasquatch. Bentuk Yeti asalnya dari cerita rakyat. Karakternya adalah bagian kuno yang penting dari legenda dan sejarah Sherpa, masyarakat yang tinggal pada ketinggian rata-rata 12.000 kaki di Nepal timur.
Shiva Dhakal mengumpulkan 12 cerita tradisional dalam bukunya Folk Tales of Sherpa and Yeti, yang di dalam ceritanya, binatang ini selalu merupakan makhluk berbahaya.
Sebagai contohnya, “The Annihilation of the Yeti” adalah tentang Sherpa yang membalas dendam terhadap sekelompok Yeti yang suka menyerang.
Mereka minum alkohol dan berkelahi di depan Yeti agar mereka menirunya dan saling menyerang.
Yang terjadi justru sebaliknya, Yeti yang selamat menyatakan akan balas dendam dan pindah ke puncak gunung serta melanjutkan hidupnya.
Cerita ini memenuhi salah satu tujuan utama cerita rakyat: memberikan pelajaran moral. Terutama memperingatkan masyarakat Sherpa tentang binatang liar yang berbahaya.
“Mungkin, cerita rakyat Yeti digunakan untuk memperingatkan atau kemungkinan terkait moralitas, agar anak-anak tidak pergi jauh dan mereka tetap aman di dalam masyarakatnya,” kata Dhakal.
Tetapi ketika pendaki gunung Barat mulai mengunjungi Himalaya, mitos ini berubah menjadi sesuatu yang lebih besar dan sensasional.
Pada tahun 1921, penjelajah dan politikus Charles Howard-Bury memimpin ekspedisi Inggris ke Puncak Everest.
Dia melihat jejak kaki besar dan diberitahu hal itu berasal dari “metoh-kangmi” atau “manusia salju beruang jantan”.
Ketika ekspedisi kembali, seorang wartawan mewawancara beberapa anggotanya.
Sayangnya, Henry Newman bukanlah wartawan yang baik saat melaporkannya. Dia menerjemahkan “metoh” menjadi “kotor”, dan kemudian memutuskan “mengerikan” kata yang lebih baik.
Saat itulah sebuah legenda lahir. Kesaksian penduduk setempat terus menerus diterjemahkan pengunjung Barat dan cerita manusia salju mirip kera berkembang.
Pada tahun 1950an, perhatian begitu tinggi. Sejumlah pendaki melakukan ekspedisi untuk mencari mahluk itu. Bahkan bintang film Hollywood, James Stewart, juga terpengaruh, dengan menyimpan ‘jari Yeti’. Di tahun 2011, tes DNA membuktikan benda itu adalah jari manusia.
Sejak saat itu, terdapat jejak kaki di salju, film amatir, foto kabur dan kesaksian pendaki gunung. Tengkorak yang diduga Yeti ditemukan, disamping bagian tulang dan rambut. Tetapi setelah diperiksa, benda-benda ini milik binatang liar lainnya seperti beruang, antelop dan kera.
Meskipun tidak terdapat bukti nyata, orang masih mencari Yeti di Himalaya. Yeti adalah contoh cryptozoology: pencarian mahluk yang tidak bisa disebut ada karena kurang bukti.
Pendaki gunung Reinhold Messner kemungkinan adalah pemburu Yeti yang paling terkenal. Dia menyatakan telah melihat satu Yeti di Himalaya pada tahun 1980an dan mengunjungi tempat itu berkali-kali untuk mengungkap misteri.
Teori Messner untuk menjelaskan semua kesaksian adalah sederhana: Yeti adalah seekor beruang.
Messner mengatakan legenda Yeti adalah campuran spesies beruang sebenarnya dan dongeng Sherpa tentang bahaya binatang liar. “Semua jejak kaki Yeti adalah dari beruang yang sama,” kata Messner. “Yeti adalah tokoh yang menakjubkan. Yeti adalah nyata.”
Dia menolak pemikiran Yeti adalah manusia-kera, seperti yang dikatakan Howard-Bury dan Newman. “Orang tidak menyukai realita, mereka menyenangi cerita-cerita gila,” katanya. “Mereka suka jika Yeti mirip Neanderthal, Yeti campuran manusia dan kera.”
Di tahun 2014, pandangan Messner mendapatkan dukungan yang tidak terduga: genetika.
Bryan Sykes, yang sebelumnya adalah profesor genetika Universitas Oxford di Inggris, memutuskan untuk melakukan sejumlah tes terhadap ‘Yeti’.
Bersama timnya, dia menganalisa contoh rambut dari primata yang diduga Yeti, sebagian berasal dari Messner.
Mereka kemudian membandingkan DNA Yeti dengan genom binatang lainnya. Tim menemukan dua sampel Himalaya – satu dari Ladakh, India dan yang lainnya dari Bhutan – secara genetis sangat mirip dengan beruang salju yang hidup 40.000 tahun lalu.
Hal ini mengisyaratkan Himalaya adalah tempat tinggal beruang yang belum diketahui, hibrida dari beruang salju kuno dan beruang coklat.
“Jika beruang ini tersebar luas di Himalaya, mereka kemungkinan menjadi dasar biologis legenda Yeti,” tulis tim tersebut.
Meskipun demikian pernyataan ini kemudian dipertanyakan.
“Beruang salju di Himalaya sepertinya memang suatu hal yang sangat menarik,” kata Ross Barnett dari Universitas Copenhagen Denmark.
Bekerja sama dengan Ceiridwen Edwards, saat itu dari Universitas Oxford, mereka memutuskan untuk melakukan tes ulang.
Sykes dan rekannya menempatkan semua data DNA pada pusat data umum GenBank. “Sangat mudah mengunduhnya,” kata Barnett.
Mereka menemukan kesalahan besar. “Tidak terdapat kepastian kecocokan terhadap beruang salju Pleistocene seperti yang mereka katakan,” kata Barnett.
“Kecocokannya pada beruang salju modern, dan kecocokan nyatanya hanya sekilas.”
Hal ini mengisyaratkan kesimpulan yang tidak terlalu menarik. Tidak terdapat populasi rahasia beruang salju tinggal di Himalaya.
Barnett dan Edwards menyimpulkan terjadinya kerusakan pada DNA dari rambut.
Ini memang dapat saja terjadi. Rambut adalah sumber baik DNA kuno, karena keratin memang mengesampingkan air yang merusak dari DNA, tetapi rambut dapat berkurang mutunya.
“Saya pikir saya kecewa,” kata Barnett. “Temuan tidak terduga adalah hal yang orang sukai. Kenyataan bahwa kami mematahkannya memang menyedihkan, tetapi pada akhirnya yang penting adalah mendapatkan kebenaran.”
Kajian ini diulang lagi oleh Eliécer Gutiérrez dari Smithsonian Institution, Washington, D.C. dan Ronald Pineof dari Universitas Kansas di Lawrence.
Setelah membandingkan sekuen DNA, mereka menemukan “tidak ada alasan untuk meyakini” sampel dua ‘Yeti’ bukan dari beruang coklat.
Sykes dan timnya mengeluarkan pernyataan mengakui kesalahan mereka.
Meskipun demikian mereka juga menekankan “kesimpulan bahwa sampel ‘Yeti’ Himalaya ini jelas bukan dari primata yang tidak dikenal, tetap tidak terpengaruh.” Dengan kata lain sampel tersebut tidak seperti manusia-kera.
Tetapi pemikiran mahluk mirip kera di pegunungan sekarang lebih dapat dipercaya dibandingkan beberapa puluh tahun lalu. Sekarang kita mengetahui populasi hominid tidak bisa tersembunyi untuk waktu yang lama.
Contohnya Denisovans, spesies manusia punah yang diketahui keberadaannya dari sejumlah kerangkanya di sebuah gua di Siberia.
Hal tersebut baru ditemukan pada tahun 2008. Analisa genetika mengisyaratkan mahluk ini bertahan hidup selama ratusan ribu tahun, baru menjadi punah sekitar 40.000 tahun lalu.
Spesies yang sudah punah lainnya yang bisa bertahan sampai belum lama ini adalah ‘hobbits’ Homo floresiensis yang kemungkinan bertahan hidup di Indonesia sampai 12.000 tahun lalu.
Hal ini mengisyaratkan kemungkinan terdapat populasi lain yang perlu dikaji.
Lewat tulisan di jurnal Nature pada tahun 2004, tidak lama setelah hobbit ditemukan, Henry Gee menyatakan, “Temuan bahwa Homo floresiensis yang masih bertahan hidup sampai baru-baru ini, secara geologis, menimbulkan kemungkinan cerita mahluk mirip manusia seperti Yeti kemungkinan ada benarnya.”
Jelas pemikiran ini ada dasarnya. Tetapi masalahnya, tetap tidak terdapat bukti yang kuat, dan jika populasi manusia-kera yang tidak dikenal memang ada, terdapat beberapa hal yang seharusnya kita ketahui.
Jika dapat berada di habitatnya, primata dan binatang besar lainnya mudah ditemukan, bahkan meskipun ini adalah jenis yang jarang ditemui.
“Jika ada yang melihat spesies primata yang benar-benar jarang, seperti bonobo dan orang-utan, buktinya ada dimana-mana dan sulit untuk terlewatkan,” kata Barnett.
“Ada tempat-tempat di Himalaya dimana populasi kera besar secara teoritis dapat bertahan hidup,” kata Vladimir Dinets dari Universitas Tennessee, Knoxville, yang bekerja di Himalaya.
“Tetapi di semua tempat ini terdapat manusia yang hidup disana, dan semua spesies mamalia yang lebih besar dari tikus secara teratur diburu dengan berbagai cara,”katanya.
Binatang harus menjelajah pada wilayah yang luas untuk mendapatkan cukup makanan, yang berarti sulit bagi mereka untuk tetap tersembunyi.
Iklim juga menjadi masalah. Primata akan kesulitan hidup di cuaca Himalaya yang keras.
“Bahkan jika mereka sekuat macaque Jepang, primata yang paling tahan dingin, mereka tetap harus turun ke hutan suptropik saat musim dingin,” kata Dinets.
“Hutan-hutan ini ada dalam bentuk kecil,” kata Dinets. “Sebagian besar telah dijadikan pertanian sejak lama.”
Dan Yeti tetap saja muncul.
Pada tahun 2011, ekspedisi dan konferensi yang dipimpin Rusia menyatakan telah menemukan “bukti yang tidak bisa dipertanyakan” tentang keberadaan Yeti, termasuk ditemukannya sebuah tempat tidur.
Meskipun demikian, Dinets yang lahir di Rusia mengatakan itu hanya usaha untuk mencari perhatian tanpa bukti kuat.
“Selama sekitar 20 tahun, kunjungan musim panas ke pegunungan untuk mencari Yeti menjadi populer,” kata Dinets.
“Satu-satunya hasil temuan adalah bahwa setiap desa di pegunungan Tajikistan dan Kyrgyzstan memiliki ‘saksi Yeti’ yang telah ditunjuk.
Tugas mereka adalah memberi tahu para pengunjung tentang dongeng itu, membawa mereka ke lembah terpencil di mana ‘Yeti’ terlihat, dan kemudian meminta wisatawan membayar jasa dalam jumlah besar.”
Kesimpulannya, tidak terdapat bukti kuat tentang keberadaan primata yang tidak dikenal di Himalaya, dan banyak alasan untuk memperkirakan mahluk ini tidak ada.
Sepertinya bukti beruang salju di Himalaya tidak bisa dibuktikan. Beruang mungkin saja ada dalam legenda, tetapi kemungkinan dalam bentuk beruang coklat, yang memang banyak ditemukan di Asia.
Barnett meyakini penjelasan paling masuk akal tentang legenda Yeti adalah terjadinya salah interpretasi binatang seperti beruang coklat, bercampur dengan kecenderungan manusia menceritakan dongeng tentang binatang yang tidak dikenal.
Tetapi ini bukan berarti pencarian berakhir. “Kenyataan bahwa tidak pernah ada bukti apapun tidak menghentikan usaha pencarian,” kata Barnett.
Selama kita menikmati legenda dan dongeng, kita tidak akan melupakan Yeti.
Sumber: