Bagi sebagian kita berbusana mungkin lebih ditujukan kepada memenuhi etika kesopanan. Tolak ukur kita adalah sopankah busana yang saya pakai ? Namun hal ini tidak berlaku bagi Putera Sang Fajar. Dimata Bung Karno busana bukan hanya tuntutan sebuah kesopanan tetapi lebih jauh dari itu dalam busana dan cara menggunakannya banyak mengandung nilai seni.
Dalam berbusana Bung Karno sangat teliti, baik warna, model sampai pada bahan yang akan digunakan. Dan dalam kerapian serta keserasian berbusana perhatian Bung Karno bukan hanya pada busana yang ia gunakan, tetapi juga orang-orang disekelilingnya.
Kalau ada wartawan atau kawan berpakaian kurang rapi, misalnya memakai dasi miring, Bung Karno langsung membetulkan. Hal yang sama ia lakukan terhadap duta besar yang cukup akrab dengan Bung Karno. Pria yang senang memakai peci ini kalau berpakaian sangat rapi dan teratur. Ia juga mempunyai tukang jahit langganan. Namanya The, seorang Tionghoa warga negara Indonesia. The ini mempunyai usaha jahit bernama Smart di Jalan Sawah Besar.
Untuk pakaian sehari-hari, Bung Karno juga sangat sederhana. Kalau robek, Bung Karno biasanya meminta untuk dijahit kembali. Setelah itu, ia pakai lagi. Apalagi, kalau pakaian tersebut termasuk favorit Bung Karno. Meski dijahit di sana-sini, pakaian ini tetap dipakai. Demikian pula alas kaki. Bung Karno lebih suka mengenakan sandal lama, bahkan yang hampir rusak.
Kursi rotan yang paling digemari Bung Karno juga kursi rotan yang sudah lama dipakai. Menurut pria yang lahir pada 6 Juni 1901 ini, kursi rotan lama akan mengikuti bentuk tubuh pemakainya. Jadi, lebih enak diduduki. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Bung Karno seorang kutu buku. Tak mengherankan, waktu luang yang ada ia gunakan untuk membaca.
Bila Bung Karno sedang duduk sendirian di kursi, di atas meja dekat kursi itu harus ada tumpukan koran atau buku bacaan. Pada 1950-an, sewaktu baru pindah ke Yogyakarta, anggota DKP bertugas mengambil koran pagi-pagi sekali supaya tidak terlambat dibaca Bung Karno. Di kemudian hari pengiriman koran-koran cukup baik sehingga anggota DKP cukup memeriksa jumlah koran supaya tidak kurang. Kalau kurang, Bung Karno pasti menanyakan. Juga buletin dari kantor berita. Seperti Antara.
Koran yang dibaca Bung Karno, antara lain, Merdeka, Suluh Indonesia, Duta Masyarakat, Pedoman, Indonesia Raya, Sinpo. Pagi-pagi sekali, surat kabar tersebut harus sudah ada di atas meja Bung Karno. Orator ulung ini juga membacaKompas dan Sinar Harapan. Bila Bung Karno sedang pergi ke kamar kecil dan waktu sebelum ke kamar kecil sedang membaca surat kabar atau buku, bacaan ini dibawa juga ke kamar kecil tersebut. Terkadang, Bung Karno tinggal di Bandung. Biasanya, Bung Karno menginap di Gubernuran Bandung.
Suatu pagi, ketika habis sarapan, Bung Karno bercerita dan bertanya. ’’Mengapa istri para polisi selalu cantik-cantik?’’ tanya Bung Karno tiba-tiba. Semua yang mendengarkan tidak ada yang menjawab. Termasuk Mangil. Sejurus kemudian, Bung Karno bercerita. ’’Sebabnya, polisi itu sering keluyuran keluar masuk kampung dan desa. Dia bisa melihat wanita-wanita cantik dan bisa memilih yang paling cantik. Lalu dia lamar,’’ kata Bung Karno. Ia juga bertanya, ’’Mengapa polisi dibenci anjing?’’ Lagi-lagi, tak ada yang bisa menjawab. Bung Karno kemudian bercerita. Yang dibenci anjing sebetulnya bukan polisi Indonesia, tetapi polisi di zaman Belanda. Dulu, di zaman penjajahan, kalau polisi melihat anjing berkeliaran di jalan-jalan, dan anjing ini tidak diberangus mulutnya, polisi ini akan menembak anjing tersebut. Ekor anjing ini kemudian dipotong sebagai bukti. Untuk setiap ekor anjing yang ditangkap, ada uang preminya. Semakin banyak membawa ekor anjing, semakin besar uang premi yang akan diterima. ’’Maka dari itu, di zaman Belanda, kalau ada anjing melihat polisi, ia akan menggonggong keraskeras. Maksudnya, memberi tahu rekan-rekannya kalau ada bahaya,’’ cerita Bung Karno. Hadirin pun tersenyum.
EmoticonEmoticon